pura-danau baratan

pura-danau baratan
pura

Minggu, 16 Januari 2011

Desa Kala Paatra Dasar Berdana Punia

Desa Kala Patra Dasar Berdana Punia

Daatavyam iti yad daanam
diyate nupakaarine.
desa kala ca paatre ca.
tad daanam saatvikam smrtam.
(Bhagavad Gita XVII.20)

Maksudnya: Dana punia yang diberikan dengan tulus ikhlas dengan tidak mengharapkan hasilnya. Hal itu diyakini sebagai kewajiban suci dan diberikan kepada orang yang tepat (paatra). Pemberian yang demikian itu disebut Satvika Daana.

         Penggunaan istilah Desa Kala Paatra di kalangan umat Hindu umumnya dan masyarakat Bali khususnya sudah sangat populer. Bahkan ada sarjana yang menganggap itu suatu adagium asli Bali. Konsep Desa Kala Paatra yang dipahami pada umumnya tidak seperti pengertiannya dalam pustaka suci seperti Bhagavad Gita dan Sarasamuscaya. Umumnya Desa Kala Paatra itu dipahami sebagai pedoman menerapkan agama Hindu dan budaya Bali yang dijiwai agama Hindu. Desa diartikan tempat, Kala waktu dan Paatra keadaan. Demikianlah pemahaman Desa Kala Paatra umat Hiindu pada umumnya di Bali.
         Pengertian Desa Kala Paatra menurut Sloka Bhagavad Gita XVII.20 di atas sangat berbeda dengan pengertian umum. Dalam Bhagavad Gita XVII.20 dinyatakan bahwa Desa Kala Paatra sebagai pedoman untuk ber-daana punia. Daana punia yang benar dan baik itu disebut Satvikadaana. Dana punia yang benar dan baik itu adalah harus sesuai dengan petunjuk rohani yang berlaku di tempat tersebut. Petunjuk rohani yang berlaku setempat itulah disebut Desa. Sedangkan Kala artinya daana punia yang benar itu dilakukan pada waktu Satvika Kala.
         Waktu Satvika itu saat masih pagi. Sedangkan Paatra artinya daana punia itu harus diberikan pada orang yang tepat dan baik. Kalau diberikan pada orang yang tidak baik dan tidak tepat disebut Tamasika Dana. Dalam Bhagavad Gita XVII.22 orang yang tidak tepat itu disebut Apaatra.
         Orang yang tepat diberikan daana punia disebut Paatra dinyatakan dalam Sarasamuscaya 271 sbb: paatra ngarania sang yogia wehana daana, artinya: Paatra namanya orang yang sepatutnya diberikan daana punia. Dalam Sarasamuscaya sloka 181 juga sudah dinyatakan dengan istilah Supaatra yang juga artinya orang yang baik dan seyogianya diberikan daana punia. Dalam kamus Sansekerta kata Paatra itu banyak artinya. Tapi dalam kaitannya dengan Desa Kala Paatra dalam Bhagavad Gita dan Sarasamuscaya sudah sangat jelas artinya yaitu orang yang seyogianya diberikan daana punia. Sedangkan untuk menyukseskan pengamalan agama atau dharma sudah sangat jelas dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra VII,10 ada lima dasar pertimbangan agar pengamalan agama atau dharma sukses.
         Dalam sloka Manawa Dharmasastra VII.10 disebut Dharmasidhiartha artinya suksesnya tujuan dharma atau agama. Ada lima dasar pertimbangan yang dinyatakan dalam sloka tersebut yaitu Iksha, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa. Iksha artinya pandangan masyarakat, Sakti kemampuan masyarakat, Desa aturan rohani yang berlaku setempat, Kala artinya waktu. Tattwa artinya kebenaran Weda. Maksudnya Tattwa kebenaran Weda itulah diterapkan sesuai dengan Iksha, Sakti, Desa dan Kala. Hal ini menyebabkan bentuk luar tradisi beragama Hindu berbeda-beda antara daerah satu dengan daerah lainya.
        Meskipun Tattwa Hindu itu dapat disesuikan dengan Iksha, Sakti, Desa dan Kala tapi Tattwa-nya yang mutlak tak boleh berubah. Bagaikan makan nasi boleh pakai piring, pakai daun, kertas minyak maupun pakai rantang. Yang penting isinya sama yaitu nasi. Demikianlah Tattwa intisari Weda boleh dikemas dengan tradisi India, tradisi Kalimantan, tradisi Jawa, tradisi Bali dllnya. Yang penting isinya Tattwa inti Weda. Karena itu istilah Desa Kala Paatra itu dikembalikan hanya sebagai dasar melakukan Satvika Daana.


Kuningan Hari Anugerah

        Persembahan banten saat Hari Raya Kuningan menurut lontar Sunarigama harus dipersembahkan sebelum mata hari tegak (tajeg surya). Kuningan itu adalah hari anugerah. Daana Punia dari Tuhan disebut anugerah, harus diberikan berdasarkan Desa Kala dan Paatra. Pagi sebelum matahari tegak di atas kepala adalah saat Satvika Kala. Pagi itulah anugerah Kuningan diturunkan oleh Hyang Widhi Wasa pada umatnya berupa rasa aman (Raksanam) dan kesejahteraan atau Dhanam. Hal ini dilambangkan oleh "Sampian Kuningan". Ter, Tamiang, Kolem lambang Raksanam sedangkan Sampian Endongan lambang Dhanam atau kesejahteraan ekonomi. Kemenangan itu hanya dapat dicapai dengan perjuangan yang serius yang di simbolkan saat perayaan Sugian, Embang Sugi, Penyajahan, Penampahan dan Galungan.
Rentetan perayaan tersebut simbol-simbol dengan makna perjuangan dengan kekuatan rohani dan jasmani. Sugian Jawa dan Sugian Bali mengingatkan umat agar menyucikan bhuwana agung dan bhuwana alit. Maksudnya lestarikan lingkungan hidup dan bangun diri yang sehat lahir batin. Embang Sugi untuk menjernihkan alam pikiran (anyekung jnyana nirmala kna). Redite Paing Dungulan Sang Butha Galungan mulai turun. Selanjutnya Butha Dungulan disimbulkan turun pada Soma Pon Dungulan, sedangkan Sang Butha Amangkurat turun saat Anggara Wage Dungulan yaitu saat hari Penampahan Galungan dengan banten Sesayut Pamiak Kala Lara Melaradan sebagai banten utama. Budha Kliwon Dungulan puncak perjungan melawan Adharma sebagai Hari Galungan.
        Kemenangan menurut konsep Galungan Kuningan ini terwujudnya hidup bersama dengan aman damai dan sejahtera. Meskipun hidup dalam negara merdeka tanpa ada penjajah tetapi kalau hidup bersama itu rusuh seperti bermu suhan dengan saudara,tidak ada keadilan ekonomi, birokrasi pemerintahan tidak melayani rakyat. Wakil rakyat hambur-hamburkan uang rakyat dengan alasan studi banding. Beda pendapat diatasi dengan cara-cara anarkhis, dimana-mana ada kerusuhan. Kalau keadaan yang demikian itu masih terjadi artinya kita belum menang namanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar