pura-danau baratan

pura-danau baratan
pura

Rabu, 26 Januari 2011

Hidup Tidak Hanya Sekedar Mencari Nafkah

Berbicara tentang kehidupan manusia merupakan sumber cerita yang tak pernah habis-habisnya. Ia dapat menjadi sumber inspirasi yang sangat menarik. Kehidupan manusia dapat dikisahkan mulai ia dilahirkan, ketika remaja, sesudah dewasa, bahkan ketika ia sudah mencapai kesuksesan atau sebaliknya ketika ia mendapat kegagalan.

Manusia dikatakan mahluk yang paling berpahala, karena diantara semua mahluk, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah ke dalam perbuatan baik segala perbuatan yang buruk itu, demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia (Sarasamuscaya 2).

Walaupun demikian, di dunia ini kita menemukan beraneka ragam sifat manusia. Ada yang merasa bersyukur, karena telah memperoleh kehidupan yang baik. Ada pula yang selalu mengumpat, karena mereka berada dalam kemiskinan dan kepapaan. Kehidupannya sangat terbatas, mau ini tidak bisa, mau itu juga tidak mampu. Kadang-kadang timbul irihati, kenapa si A bisa dalam kondisi yang bahagia, sedangkan si B tidak. Pada hal mereka semuanya adalah mahluk Tuhan yang sama, dilahirkan di dalam kehampaan, dan telanjang bulat. Kondisi manusia yang bermacam itu sering menimbulkan kejadian yang aneh-aneh. Yang tidak tahan menderita lalu lari ke minuman keras (miras), narkoba (narkotika dan obat-obat terlarang), bunuh diri dan sebagainya.

Jika manusia itu sadar, sebenarnya mereka tidak perlu demikian, tidak perlu bersedih hati. Sebab, sekalipun hidupmu tidak makmur, dilahirkan menjadi manusia itu, hendaklah menjadikan kamu berbesar hati, sebab amat sukar untuk dapat dilahirkan menjadi manusia, meskipun kelahiran hina sekalipun (Sarasamuscaya 3).

Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama, sebab demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia (Sarasamuscaya 4).

Setelah seseorang itu mencapai kesuksesan dan kebahagiaan hidup (terpenuhi artha, kama dan didasarkan dengan dharma), lalu seseorang akan berpaling pada tujuan hidup yang tertinggi. Hidup ini memang bukan hanya sekedar untuk mencari nafkah, tetapi untuk mencapai kebahagiaan yang abadi.

Untuk mencapai kehidupan yang kekal abadi ini, ajaran agama Hindu mempedomani kita melalui Weda Smrti Bab XII. 83, sebagai berikut :

Wedabhyasastapo jnanam
Indriyanam ca samyamah
Ahimsa guru sewa ca
Nicre yasakaram param

Artinya : Mempelajari Weda, melakukan tapa, mencari pengetahuan yang benar, menundukkan panca indra, tidak melukai mahluk dan melayani guru adalah cara yang terbaik untuk mencapai rahmat yang tertinggi.

Dari sumber Bhagavadgita XIII. 8 dapat dikaji sebagai berikut :

Indriyarthesu vairagyam
Anahankara eva ca
Janma – mrtyu – jara – vyadhi
Dukha – dosanudarsanam

Artinya : Ketidakinginan akan keduniawian, lenyapnya keakuan dan pemahaman akan keburukan kelahiran, kematian, usia tua, sakit dan kesengsaraan.

Selain itu dalam Bhagavadgita XIII. 9 dikatakan sebagai berikut :

Asaktir anabhisvangah
Putra dara grhadisu
Nityam ca sama – cittatvam
Istanistopapattisu

Artinya : Ketidakterikatan, bebas dari ketergantungan pada anak, istri, rumah tangga dan sebagainya, selalu sama dalam menghadapi peristiwa yang menyenangkan atau tak menyenangkan.

Dari kedua sloka Bhagavadgita ini (XIII. 8 dan XIII. 9) dapat lebih memperluas pandangan kita tentang pencapaian kehidupan yang kekal dan abadi, seperti yang sudah dijelaskan pada sloka Weda Smrti Bab XII-83.

Satu manfaat yang perlu ditambahkan lagi dalam upaya mempelajari dan menghayati Weda secara benar adalah dengan menyadari isi Wedasmrti Bab XII. 102, sebagai berikut :

Weda castrartha tatwajno
Yatra tatracrame wasam
Ihaiwa loke tisthansa
Brahma bhuyaja kalpate

Artinya : Dalam tingkat apapun manusia yang mengetahui arti yang benar tentang ilmu Weda boleh tetap bahkan ia walaupun semasih terikat dalam dunia ini, layak bersatu dengan Brahman.

Penjelasan :
Dalam tingkat apapun juga manusia itu adanya (yatra tatra acrama wasam) artinya tidak dipersoalkan status asramanya, apakah Brahmacari, Grhasta, Wanaprasta, Sanjasa, bila ia mengetahui benar-benar ajaran serta arti hakekat dari Weda, ia bisa dan dapat mencapai Brahman (bersatu dengan Brahman).

Dari uraian di atas jelas sekali bahwa kita hidup di dunia ini bukan hanya sekadar mencari nafkah, mengumpulkan harta kekayaan, memenuhi hawa nafsu dan lain-lain, tetapi mempunyai tujuan yang tertinggi yaitu melepaskan diri dari samsara (lahir dan mati) berulang kali.
READ MORE - Hidup Tidak Hanya Sekedar Mencari Nafkah

Minggu, 23 Januari 2011

Dana Punia, Prioritas Beragama di Zaman Kali

Tapah pararn kerta yuge
tretayam jnyanamucyate
dwapare yajnyawaewahur
danamekam kalau yuge

(Manawa Dharmasastra, I.85)

Maksudnya: Bertapa prioritas beragama zaman Kerta, prioritas beragama zaman Treta Yuga dalam jnyana, zaman Dwapara Yuga dengan upacara yadnya, sedangkan prioritas beragama zaman Kali Yuga adalah Dana Punia.

ADA lima hal yang wajib dijadikan dasar pertimbangan untuk mengamalkan agama (dharma) agar sukses (Dharmasiddhiyartha). Hal itu dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra VII.10. Lima dasar pertimbangan itu adalah iksha, sakti, desa kala dan tattwa. Iksha adalah pandangan hidup masyarakat setempat, sakti adalah kemampuan, desa adalah aturan rohani setempat, kala (waktu) dan tattwa (hakikat kebenaran Weda).

Kala sebagai salah satu hal yang wajib dipertimbangkan dalam mengamalkan agama Hindu agar sukses. Waktu dalam ajaran Hindu memiliki dimensi amat luas. Ada waktu dilihat dari konsep Tri Guna. Karena itu ada waktu satvika kala, rajasika kala dan tamasika kala. Ada waktu berdasarkan konsep Yuga — Kerta Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga. Keadaan zaman ditiap-tiap yuga itu berbeda-beda. Karena itu, cara beragama-pun berbeda-beda pada setiap zaman.

Menurut Manawa Dharmasastra 1.85 sebagaimana dikutip diawal tulisan ini, prioritas beragama-pun menjadi berbeda-beda pada setiap zaman. Pada zaman Kerta Yuga, kehidupan beragama diprioritaskan dengan cara bertapa. Pada Treta Yuga dengan memfokuskan pada jnyana. Pada zaman Dwapara Yuga dengan upacara yadnya dan pada zaman Kala Yuga beragama dengan prioritas melakukan dana punia.

Melakukan dana punia diarahkan untuk membangun SDM yang berkualitas. Pustaka Slokantara Sloka 2 menyatakan lebih utama nilainya mendidik seorang putra menjadi suputra daripada seratus kali upacara yadnya. Inilah idealisme ajaran Hindu yang semestinya dijadikan acuan pada zaman Kali Yuga dewasa ini.

Pada kenyataannya, umat Hindu di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya masih mengutamakan upacara yadnya sebagai prioritas beragama. Hal ini akan menimbulkan akibat yang kurang baik dalam kehidupan beragama. Dinamika umat dalam berbagai bidang kehidupan amat meningkat pesat. Kegiatan hidup yang semakin meningkat itu membutuhkan waktu, biaya, tenaga dan sarana lainnya. Amat berbeda dengan kehidupan pada zaman agraris tulen dimana umat umumnya lebih banyak di sawah ladang dan kebun untuk mencari nafkah.
Pada zaman industri ini, mobilitas umat makin tinggi dan kegiatan hidup makin beraneka ragam. Karena itu, amatlah tepat arahan Manawa Dharmasastra I.85. itu — beragama yang lebih mempriotaskan kegiatan ber-dana punia. Ini bukan berarti upacara yadnya sebagai kegiatan beragama Hindu ditinggalkan.

Upacara yadnya tetap berlangsung tetapi bukan merupakan prioritas. Justeru upacara yadnya tetap dilakukan dengan lebih menekankan aspek spiritualnya, bukan pada wujud ritualnya yang menekankan fisik material.

Apalagi bagi umat Hindu di Bali tingkatan bentuk upacara yadnya yang pada dasarnya dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu upacara nista, madia dan utama. Nista, madia dan utama itu umumnya didasarkan pada wujud fisiknya upacara. Kalau besar dan banyak sarana yang digunakan disebut utama, kalau sedikit disebut madia, dan seterusnya. Yang kecil, menengah dan besar itu masing-masing dapat lagi dibagi menjadi tiga bagian. Dengan demikian, dari yang terkecil sampai terbesar dapat dibagi jadi sembilan.

Dalam melakukan berbagai kegiatan hidup, umat seyogianya menjadikan ajaran agama sebagai pegangan dalam menjaga keluhuran moral dan ketahanan mental. Dalam melakukan berbagai kegiatan hidup, sesungguhnya agama memegang peranan penting agar semuanya selalu berada pada jalan dharma. Substansi upacara yadnya adalah untuk membangun rasa dekat dengan Tuhan melalui bhakti, dekat dengan sesama manusia melalui punia atau pengabdian, dan merasa dekat dengan alam dengan jalan asih.
Mengapa disebut upacara yadnya? Kata “upacara” dalam bahasa Sansekerta berarti “dekat” dan yadnya berarti pengorbanan dengan ikhlas dalam wujud pengabdian. Karena itu, dalam kegiatan upacara yadnya ada “upacara” yang berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya pelayanan. Kita akan merasa dekat dengan Tuhan dengan sarana upakara sebagai sarana bhakti.

Penggunaan flora dan fauna sebagai sarana upacara menurut Menawa Dharmasastra V.40 sebagai media pemujaan agar flora dan fauna itu mejadi lebih lestari pada penjelmaan selanjutnya. Ini artinya, penggunaan flora dan fauna itu sebagai media untuk memotivasi umat untuk secara nyata (sekala) melestarikan keberadaan tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut. Jadi, upacara yadnya bukan sebagai media pembantaian flora dan fauna.

Pada zaman Kali ini, keberadaan flora dan fauna sudah semakin terancam eksistensinya Karena itu amatlah tepat kalau bentuk fisik upacara itu diambil dalam wujud yang lebih sederhana (nista), sehinga pemakaian flora dan fauna itu tidak sampai mengganggu eksistensi sumber daya alam tersebut. Justru upacara yadnya itulah seyogianya dijadikan suatu momentum untuk melakukan upaya pelestarian flora dan fauna.

Dalam Sarasamuscaya 135 ada dinyatakan, untuk melakukan bhuta hita atau upaya mensejahterakan semua makhluk (sarwa prani) ciptaan Tuhan ini. Kesejahteraan alam (bhuta hita) itulah sebagai dasar untuk mewujudkan empat tujuan hidup mencapai dharma, artha, kama dan moksha.

Ke depan, upacara yadnya hendaknya dimaknai lebih nyata dengan melakukan asih, punia dan bhakti. Asih pada alam lingkungan dengan terus menerus berusaha meningkatkan pelestarian keberadaan flora dan fauna, punia dengan melakukan pengabdian pada sesama manusia sesuai dengan swadharma masing-masing. Asih dan punia dilakukan sebagai wujud bhakti pada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
READ MORE - Dana Punia, Prioritas Beragama di Zaman Kali

Tri Hita Karana Menjalin Kehidupan Hormonis Bermasyarakat

       Tri Hita Karana,berasal dari bahasa sansekerta.Dari kata Tri yang berarti tiga .Hita berarati sejahtera.Karana berarti penyebab.Pengertian Tri Hita Karara adalah tiga hal pokok yang menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran.Konsep ini muncul berkaitan erat dengan keberadaan hidup bermasyarakat di Bali. Berawal dari pola hidup Tri Hita Karana ini muncul berkaitan dengan terwujudnya suatu desa adat di Bali.Bukan saja berakibat terwujudnya persekutuan teritorial dan persekutuan hidup atas kepentingan bersama dalam bermasyarakat, juga merupakan persekutuan dalam kesamaan kepercayaan untuk memuja Tuhan atau Sang Hyang Widhi.Dengan demikian suatu ciri khas desa adat di Bali minimal mempunyai tiga unsur pokok,yakni: wilayah,masyarakat,dan tempat suci untuk memuja Tuhan/Sang Hyang Widhi.
Perpaduan tiga unsur itu secara harmonis sebagai landasan untuk terciptanya rasa hidup yang nyaman,tenteram dan damai secara lahiriah maupun bathiniah.Seperti inilah cermin kehidupan desa adat di Bali yang berpolakan Tri Hita Karana.

        Adapun bidang garapan Tri Hita Karana dalam kehidupan bermasyarakat ,adalah sebagai berikut:
1.Bhuana atau Karang Desa ,Alam atau wilayah teritorial dari suatu desa adat yang telah ditentukan secra definitif batas kewilayahannya dengan suatu upacara adat keagamaan.
2.Krama Desa Adat,yaitu kelompok manusia yang bermasyarakat dan bertempat tinggal di wilayah desa adat yang dipimpim oleh Bendesa Adat serta dibantu oleh aparatur desa adat lainnya, seperti kelompok Mancagra ,Mancakriya dan Pemangku, bersama-sama masyarakat desa adat membangun keamanan dan kesejahteraan.
3.Tempat Suci adalah tempat untuk menuja Tuhan/Sang Hyang Widhi .Tuhan/Sang Hyang Widhi sebagai pujaan bersama yang diwujudkan dalam tindakan dan tingkah laku sehari-hari.Tempat pemujaan ini diwujudnyatakan dalam Kahyangan Tiga .Setiap desa adat di Bali wajib memilikinya. Kahyangan Tiga itu adalah : Pura Desa, Pura Puseh,Pura Dalem. Kahyangan Tiga di desa adat di Bali seolah-olah merupakan jiwa dari Karang Desa yang tak terpisahkan dengan seluruh aktifitas dan kehidupan desa.
C.Manfaat Tri Hita Karana Dalam Kehidupan Sehari-hari dalam Rangka Melestarikan Lingkungan Hidup.
Di dalam kehidupan masysrakat Hindu di Bali ,kesehariannya menganut pola Tri Hita Karana.Tiga unsur ini melekat erat setiap hati sanubari orang Bali. Penerapannya tidak hanya pada pola kehidupan desa adat saja namun tercermin dan berlaku dalam segala bentuk kehidupan berorganisani,seperti organisani pertanian yang bergerak dalam irigari yakni Subak .Sistem Subak di Bali mempunyai masing-masing wilayah subak yang batas-batasnya ditentukan secara pasti dalam awig-awig subak .Awig-awig memuat aturan-aturan umum yang wajib diindahkan dan dilaksanakan,apabila melanggar dari ketentuan itu akan dikenakan sanksi hukum yang berlaku dalam persubakan.Tri Hita Karana persubakan menyangkut adanya ,ada sawah sebagai areal,ada krama subak sebagai memilik sawah, dan ada Pura Subak,atau Ulun Suwi tempat pemujaan kepada Tuhan/Sang Hyang Widi dalam manisfestasi sebagai Ida Batari Sri,penguasa kemakmuran.
Desa adat terdiri dari kumpulan kepala keluarga-kepala keluarga,mereka bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarganya.Setiap keluarga menempati karang desa yang disebut karang sikut satak,Disinilah setiap keluarga mengatur keluarganya. Kehidupan mereka tak lepas dari pola kehidupan Tri Hita Karana.Di setiap rumah/karang desa yang didiami di Timur Laut pekarangan ada Pemerajan/Sanggah Kemulan(Utama Mandala) tempat pemujaan Sang Hyang Widhi oleh keluarga. Bangunan Bale Delod tempat kegiatan upacara,dapur,rumah ada di madya mandala.Dan Kori Agung,Candi Bentar,Angkul-angkul,sebagai pintu masuk pekarangan terletak di batas luar pekarangan.Di samping itu ada teba letaknya di luar pekarangan sikut satak yakni untuk bercocok tanam seperti pisang,manggis,pepaya dan nangka,dan tempat memelihara hewan seperti ayam,babi,sapi,kambing dan lainnya untuk sarana kelengkapan upacara adat .
Setiap unit kehidupan masyarakat Hindu di Bali selalu di atur menurut pola konsepsi Tri Hita Karana. Pola ini telah mencerminkan kehidupan yang harmonis bermasyarakat di Bali. Tidak saja dicermikan dalam kehidupan orang Bali saja,juga kepada mereka yang bukan orang Bali akan diperlakukan sama oleh orang Bali. Banyak para peneliti mancanegara mengadakan penelitian tentang pola kehidupan ini. Sistemnya memang beda dan unik dibandingkan dengan masyarakat lain di Indonesia.
         Demikian adanya penerapan konsepsi Tri Hita Karana dalam kehidupan masyarakat Hindu khususnya di Bali.Bilamana penerapan Tri Hita Karana ini dapat ditebarkan dalam wilayah yang lebih luas di luar sana ,dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh niscaya kesejahteraan,kemakmuran,dan kerahayuan memungkinkan terwujud secara nyata.Hidup rukun sejahtera dirghayu dirgayusa,gemah ripah loh jiwani.
READ MORE - Tri Hita Karana Menjalin Kehidupan Hormonis Bermasyarakat

Minggu, 16 Januari 2011

Empat Hal yang Selalu Ada Di Rumah Orang Baik

Empat Hal yang Selalu Ada Di Rumah Orang Baik

Trnaani bhuurmirudakam
Wak caturti ca suunartaa
Etaanyapi sataan gehesu
Nocchidyante kadaacana.
(Manawa Dharmasastra. III.101)

Maksudnya: Di rumah tinggal orang yang baik akan senantiasa ada empat hal yaitu pepohonan, air yang jernih yang mengalir, ruang istirahat dan kata-kata yang sopan santun dan kesetiaan.

        RUMAH tinggal buka sekadar sebagai tempat berteduh saat panas dan saat ada hujan. Rumah tinggal itu adalah tempat mengembangkan konsep kehidupan yang seimbang baik lahir maupun batin. Karena itu harus diciptakan kondisi yang seimbang antara eksistensi alam lingkungan yang sejuk dan hubungan sosial yang harmonis sesama penghuni rumah tinggal sebagai pemujaan pada Tuhan. Konsep rumah tinggal yang idialnormatif itu ada dinyatakan dalam berbagai susastra Hindu.
        Sloka yang dikutip diatas menyatakan adanya empat unsur yang harus ada dalam setiap rumah tinggal orang baik. Empat unsur itu membentuk lingkungan alam yang sejuk dan lingkungan sosial yang harmonis dan dinamis dalam rumah tinggal tersebut. Konsep rumah tinggal yang demikian itu juga dinyatakan kembali dalam Sarasamuscaya 224. Tentang rumah tinggal yang didial itu amat sejalan dengan fungsi rumah tingga lyang ada dikalangan umat Hindu di Bali. Fungsi rumah tinggal bagi umat Hindu di Bali tergambarkan pada saat rumah tinggal itu di-pelaspas yaitu upacara untuk mengupacarai rumah tinggal tersebut secara ritual sakral.
         Puncak upacara melaspas umumnya disertai dengan menancapkan tiga jenis bentuk banten yang disebut ''Orti''. Tiga jenis banten Orti itu adalah Orti Temu, Orti Ancak dan Orti Bingin. Tiga Orti ini menggambarkan makna dari rumah tinggal tersebut. Orti Temu sebagai simbol yang melukiskan rumah tinggal itu setelah dipelaspas bukan merupakan rangkaian bahan-bahan bangunan yang bersifat sekala semata yang tak bernyawa, tetapi sudah ditemukan dengan kekuatan spiritual yang niskala dengan upacara yadnya yang sakral. Ini artinya rumah tinggal itu sudah hidup atau ''maurip'' secara keagamaan.
        Sedangkan Orti Ancak adalah lambang bahwa rumah tinggal itu sebagai tempat untuk mengembangkan kehidupan yang baik dan benar atau lambang ''kawerdian''. Kata werdhi artinya berkembang kearah yang semakin baik. Ini artinya rumah tinggal itu harus difungsikan sebagai sarana untuk mengembangkan kehidupan yang semakin baik, benar dan wajar mewujudkan tujuan hidup yang disebut Purusa Artha. Orti Bingin lambang ''kelanggengan''. Langgeng atau keabadian. Hidup itu banyak seginya. Hal yang tidak baik dan tidak benar wajib ditinggalkan. Tetapi hal yang baik dan benar wajib dijadikan dasar mengembangkan kehidupan yang baik dan benar atau werdhi sampai yang baik dan benar itu menjadi langgeng sebagai dasar kehidupan manusia yang tinggal dalam rumah tinggal tersebut.
        Sejalan dengan makna tiga Orti itu Sloka Manawa Dharmasastra III.101 diatas dan juga Sarasamuscaya 224 memberikan tuntunan tentang unsur yang seyogianya ada dan dikembangkan dalam rumah tinggal yaitu: yaitu adanya pepohonan yang berguna untuk makanan dan obat-obatan atau trna atau sam sam. Hal ini untuk memelihara kualitas oksigen yang selalu dihirup oleh mereka yang tinggal di rumah tinggal tersebut. Dalam Mantra Atharvaveda X.44.1 ada dinyatakan bahwa: Terdapat warna hijau pada daun tumbuh-tumbuhan (klorofil) yaitu unsur yang menyelamatkan hidup yang pada hijau daun. Ia ditutupi oleh tumbuh-tumbuhan berkhasiat obat dan makanan.
        Rumah tinggal itu hendaknya tidak dipenuhi oleh bangunan fisik saja. Betapapun sempitnya halaman hendaknya diusahakan ada pepohonan setidaknya pohon sejenis perdu yang ada manfaatnya sebagai bahan makanan, obat-obatan dan keindahan warna daun dan bunganya. Mungkin hal ini yang disebut adanya pasar hidup dan apotek hidup dalam pembinaan keluarga dewasa ini. Air jernih yang mengalir atau bhumi udaka disebut juga ''wwai hideng'' seyogianya juga ada dalam setiap pekarangan rumah tinggal. Air ini merupakan satu dari tiga Ratna Permata Bumi menurut Nitisastra XII.21. Dua Ratna Permata Bumi lainnya adalah anna atau tumbuhan bahan makanan dan obat-obatan dan subha sita yaitu kata-kata bijak yang dirumuskan dari Mantra Weda.
         Kata-kata bijak itulah yang wajib dijadikan dasar dan pedoman berperilaku dalam mengelola hidup bersama di rumah tinggal tersebut. Air adalah sumber alam yang amat menentukan perjalanan hidup semua mahluk di bumi ini, karena itu air itu disebut Ratna Permata Bumi. Dewasa ini cara mengolah aliran air di rumah tinggal agar terus mengalir sudah ada berbagai teknologi modern. Unsur yang ketiga yang wajib ada dalam rumah tinggal itu adalah tempat istirahat seperti kamar tidur, kamar keluarga dan juga ruang untuk terima tamu. Keberadaan ruangan inilah yang lebih diutamakan pada umumnya, karena itu memang kebutuhan yang paling mendasar dalam rumah tinggal itu.
        Namun demikian keberadaan tumbuh-tumbuhan dan air mengalir dan kata-kata bijak amat dipentingkan agar kamar atau ruangan itu menjadi berfungsi sebaik mungkin memberi kesehatan dan kesejukan bertempat tinggal di rumah tersebut. Unsur yang keempat seharusnya ada dalam setiap rumah tinggal adalah ''Ujar umanis'' dan ''Satya hitaawasaana'' atau disebut suunrtaa. Kata-kata manis dan kesetiaan dan kebenaran inilan menajadi norma utama yang jadi pegangan dalam rumah tinggal suatu keluarga. Dalam komunikasi di intern keluarga dalam rumah tinggal itu tidak ada ''ujar apergas'' atau kata-kata kasar, ujar ahala kata-kata jahat, ujar pisuna kata kata fitnah dan ujar mithya atau kata-kata bohong.
        Komunikasi senantiasa memberikan kesan kebenaran dan kejujuran atau satyahita wasana dalam keluarga tersebut. Unsur-unsur yang seyogianya ada dalam setiap rumah tinggal orang baik ini perlu kembali direnungkan untuk membangun suatu pemukiman yang sehat baik ditinjau dari sudut lingkungan alam maupun dari sudut lingkungan sosialnya. Dalam rumah tinggal yang ideal itulah akan tumbuh generasi penerus yang sehat lahir dan batin.
READ MORE - Empat Hal yang Selalu Ada Di Rumah Orang Baik

Desa Kala Paatra Dasar Berdana Punia

Desa Kala Patra Dasar Berdana Punia

Daatavyam iti yad daanam
diyate nupakaarine.
desa kala ca paatre ca.
tad daanam saatvikam smrtam.
(Bhagavad Gita XVII.20)

Maksudnya: Dana punia yang diberikan dengan tulus ikhlas dengan tidak mengharapkan hasilnya. Hal itu diyakini sebagai kewajiban suci dan diberikan kepada orang yang tepat (paatra). Pemberian yang demikian itu disebut Satvika Daana.

         Penggunaan istilah Desa Kala Paatra di kalangan umat Hindu umumnya dan masyarakat Bali khususnya sudah sangat populer. Bahkan ada sarjana yang menganggap itu suatu adagium asli Bali. Konsep Desa Kala Paatra yang dipahami pada umumnya tidak seperti pengertiannya dalam pustaka suci seperti Bhagavad Gita dan Sarasamuscaya. Umumnya Desa Kala Paatra itu dipahami sebagai pedoman menerapkan agama Hindu dan budaya Bali yang dijiwai agama Hindu. Desa diartikan tempat, Kala waktu dan Paatra keadaan. Demikianlah pemahaman Desa Kala Paatra umat Hiindu pada umumnya di Bali.
         Pengertian Desa Kala Paatra menurut Sloka Bhagavad Gita XVII.20 di atas sangat berbeda dengan pengertian umum. Dalam Bhagavad Gita XVII.20 dinyatakan bahwa Desa Kala Paatra sebagai pedoman untuk ber-daana punia. Daana punia yang benar dan baik itu disebut Satvikadaana. Dana punia yang benar dan baik itu adalah harus sesuai dengan petunjuk rohani yang berlaku di tempat tersebut. Petunjuk rohani yang berlaku setempat itulah disebut Desa. Sedangkan Kala artinya daana punia yang benar itu dilakukan pada waktu Satvika Kala.
         Waktu Satvika itu saat masih pagi. Sedangkan Paatra artinya daana punia itu harus diberikan pada orang yang tepat dan baik. Kalau diberikan pada orang yang tidak baik dan tidak tepat disebut Tamasika Dana. Dalam Bhagavad Gita XVII.22 orang yang tidak tepat itu disebut Apaatra.
         Orang yang tepat diberikan daana punia disebut Paatra dinyatakan dalam Sarasamuscaya 271 sbb: paatra ngarania sang yogia wehana daana, artinya: Paatra namanya orang yang sepatutnya diberikan daana punia. Dalam Sarasamuscaya sloka 181 juga sudah dinyatakan dengan istilah Supaatra yang juga artinya orang yang baik dan seyogianya diberikan daana punia. Dalam kamus Sansekerta kata Paatra itu banyak artinya. Tapi dalam kaitannya dengan Desa Kala Paatra dalam Bhagavad Gita dan Sarasamuscaya sudah sangat jelas artinya yaitu orang yang seyogianya diberikan daana punia. Sedangkan untuk menyukseskan pengamalan agama atau dharma sudah sangat jelas dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra VII,10 ada lima dasar pertimbangan agar pengamalan agama atau dharma sukses.
         Dalam sloka Manawa Dharmasastra VII.10 disebut Dharmasidhiartha artinya suksesnya tujuan dharma atau agama. Ada lima dasar pertimbangan yang dinyatakan dalam sloka tersebut yaitu Iksha, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa. Iksha artinya pandangan masyarakat, Sakti kemampuan masyarakat, Desa aturan rohani yang berlaku setempat, Kala artinya waktu. Tattwa artinya kebenaran Weda. Maksudnya Tattwa kebenaran Weda itulah diterapkan sesuai dengan Iksha, Sakti, Desa dan Kala. Hal ini menyebabkan bentuk luar tradisi beragama Hindu berbeda-beda antara daerah satu dengan daerah lainya.
        Meskipun Tattwa Hindu itu dapat disesuikan dengan Iksha, Sakti, Desa dan Kala tapi Tattwa-nya yang mutlak tak boleh berubah. Bagaikan makan nasi boleh pakai piring, pakai daun, kertas minyak maupun pakai rantang. Yang penting isinya sama yaitu nasi. Demikianlah Tattwa intisari Weda boleh dikemas dengan tradisi India, tradisi Kalimantan, tradisi Jawa, tradisi Bali dllnya. Yang penting isinya Tattwa inti Weda. Karena itu istilah Desa Kala Paatra itu dikembalikan hanya sebagai dasar melakukan Satvika Daana.


Kuningan Hari Anugerah

        Persembahan banten saat Hari Raya Kuningan menurut lontar Sunarigama harus dipersembahkan sebelum mata hari tegak (tajeg surya). Kuningan itu adalah hari anugerah. Daana Punia dari Tuhan disebut anugerah, harus diberikan berdasarkan Desa Kala dan Paatra. Pagi sebelum matahari tegak di atas kepala adalah saat Satvika Kala. Pagi itulah anugerah Kuningan diturunkan oleh Hyang Widhi Wasa pada umatnya berupa rasa aman (Raksanam) dan kesejahteraan atau Dhanam. Hal ini dilambangkan oleh "Sampian Kuningan". Ter, Tamiang, Kolem lambang Raksanam sedangkan Sampian Endongan lambang Dhanam atau kesejahteraan ekonomi. Kemenangan itu hanya dapat dicapai dengan perjuangan yang serius yang di simbolkan saat perayaan Sugian, Embang Sugi, Penyajahan, Penampahan dan Galungan.
Rentetan perayaan tersebut simbol-simbol dengan makna perjuangan dengan kekuatan rohani dan jasmani. Sugian Jawa dan Sugian Bali mengingatkan umat agar menyucikan bhuwana agung dan bhuwana alit. Maksudnya lestarikan lingkungan hidup dan bangun diri yang sehat lahir batin. Embang Sugi untuk menjernihkan alam pikiran (anyekung jnyana nirmala kna). Redite Paing Dungulan Sang Butha Galungan mulai turun. Selanjutnya Butha Dungulan disimbulkan turun pada Soma Pon Dungulan, sedangkan Sang Butha Amangkurat turun saat Anggara Wage Dungulan yaitu saat hari Penampahan Galungan dengan banten Sesayut Pamiak Kala Lara Melaradan sebagai banten utama. Budha Kliwon Dungulan puncak perjungan melawan Adharma sebagai Hari Galungan.
        Kemenangan menurut konsep Galungan Kuningan ini terwujudnya hidup bersama dengan aman damai dan sejahtera. Meskipun hidup dalam negara merdeka tanpa ada penjajah tetapi kalau hidup bersama itu rusuh seperti bermu suhan dengan saudara,tidak ada keadilan ekonomi, birokrasi pemerintahan tidak melayani rakyat. Wakil rakyat hambur-hamburkan uang rakyat dengan alasan studi banding. Beda pendapat diatasi dengan cara-cara anarkhis, dimana-mana ada kerusuhan. Kalau keadaan yang demikian itu masih terjadi artinya kita belum menang namanya.
READ MORE - Desa Kala Paatra Dasar Berdana Punia