pura-danau baratan

pura-danau baratan
pura

Rabu, 16 Februari 2011

Menyikapi Arogansi Umat Beragama di Era Globalisasi

Yasmin sarvàói bhùtàni àtmaivà- bhùd vijànataá,
tatra ko mohaá kaá úoka ekatvam anupaúyataá.
Yajurveda XL. 7
‘Bilamana orang yang cerdas  menjalan¬kan persatuan dengan
seluruh makhluk hidup (yang bernyawa) dan merasakan kesatuan dengannya,
lalu semua keterikatan dan malapetaka lenyap’.


Kehidupan manusia tidak terlepas dengan keyakinan yang dianutnya. Keyakinan itu umumnya berbentuk agama (organized religion),  di luar itu sering disebut dengan kepercayaan atau juga agama asli (native religion). Apapun namanya semuanya itu berporos pada keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang disebut dengan berbagai nama. Keyakinan itu menjadi pegangan hidup seseorang dan atau bersama-sama kelompoknya. Ajaran agama memberikan pencerahan dan tuntunan hudup kepada penganutnya.

Dalam kehidupan bersama dalam masyarakat terdapat berbagai agama dan atau kepercayaan dan masing-masing agama atau kepercayaan itu memiliki berbagai perbedaan terutama yang menyangkut keimanan (úraddhà), jalan menghubungkan diri kepada-Nya (àcàra/upàcàra/ritual) dan etika (suúìla). Perbedaan-perbedaan tersebut memberi rona dan mewarnai kehidupan beragama dalam masyarakat. Walaupun demikian, pada aspek tertentu memiliki kesamaan, misalnya menyangkut kemanusiaan (humanity).

Persamaan dan perbedaan antar agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tampak dalam kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dengan sasanti Bhineka Tunggal Ika dan sekali-sekali tampak pula adanya berbagai friksi yang bila tidak dieliminasi, bagaikan penyakit akan dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Tantangan bagi umat beragama dan juga bagi setiap cendekiawan untuk dapat mengeliminir hal-hal yang mengancam integrasi nasional yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mewadahi keberagaman warga negaranya.
Tulisan ringkas ini mengetengahkan dampak globalisasi, pemahaman agama yang ekslusif, dasar-dasar teologi Hindu tentang kemanusiaan (humanity), perbedaan (plurality), dan bagaimana ajaran agama mengajarkan untuk berkomunikasi dengan sesama umat manusia (dialogis). Tulisan ini sifatnya deskriptif dengan berusaha menggali sumber-sumber ajaran tentang hal tersebut sebagai suatu yang normatif dan memadukannya dengan hal-hal yang bersifat empirik di lapangan.


Globalisasi merupakan tantangan dan sekaligus peluang bagi eksistensi Agama Hindu dan budaya Bali. Tidak ada satu bangsa atau budaya apapun di belahan dunia ini yang tidak terlepas dari globalisasi atau era kesejagatan yang demikian tampak pesat mendera setiap bangsa. Berbagai produk budaya global telah merambah berbagai aspek kehidupan. Dampak positif budaya global sangat dirasakan oleh masyarakat Bali. Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Demikian pula alat-alat komunikasi, transportasi, dan informasi yang sangat canggih memberikan peluang kepada masyarakat Bali yang memang sangat terbuka, untuk berkomunikasi ke mana saja di belahan bumi ini. Wawasan masyarakat Bali terbuka untuk memetik hal-hal yang baik dari manapun berasal dan dengan kemampuannya yang selektif dan adaptif, menggunakan hal-hal yang baik itu untuk merevitalisasi Agama Hindu dan budaya Bali. Di balik dampak positif globalisasi, tidak dapat dihindari adalah dampak negatif budaya global tersebut. Teknologi komunikasi dan informasi yang demikian maju memberi peluang masuknya berbagai pengaruh budaya asing, ke dalam rumah dan bahkan ke dalam kamar-kamar dan kepada pribadi masyarakat. Dampak negatif budaya global tersebut merupakan dampak dari kehidupan modern. Muncul berbagai masalah di antaranya masyarakat semakin individualis, kurangnya solidaritas. Berkembangnya penyakit sosial seperti prostitusi, penyalahgunaan obat-obat psikotropika (narkoba, ekstasi, dan sebagainya), pencurian, perampokan, dan bahkan pemerkosaan.


Globalisasi telah menimbulkan semakin tingginya intensitas pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan sebagai acuan oleh masyarakat tidak jarang mengalami perubahan karena pengaruh nilai-nilai budaya global, terutama dengan adanya kemajuan teknologi informasi mempercepat proses perubahan tersebut. Proses globalisasi telah pula merambah kehidupan agama yang serba sakral menjadi sekuler, yang dapat menimbulkan ketegangan bagi umat beragama. Nilai-nilai yang mapan selama ini telah mengalami perubahan yang pada gilirannya menimbulkan keresahan psikologis dan krisis identitas di kalangan masyarakat (Ardika, 2005:18).


Terlepas dari dampak positif dan negatif globalisasi tersebut, tampak beragam respon masyarakat Bali. Di satu pihak mereka optimis menghadapi tantangan globalisasi tersebut, di pihak yang lain ada yang sangat pesimis dan khawatir terhadap memudarnya berbagai nilai budaya Bali. Dalam situasi yang demikian, mantan Duta Besar India, Vinod C. Khanna dan Malini Saran yang telah beberapa kali mengunjungi Bali, dan menulis buku The Ramayana in Indonesia (2004) seperti dikutip oleh Dharma Putra dan Widhu Sancaya (2005:XV) menyatakan bahwa Bali dapat dijadikan satu contoh untuk Asia sebagai daerah yang memiliki kemampuan untuk mengadaptasi budaya tradisional agar relevan dengan budaya global.

The island of Balinever lost sight of this truth while facing up to the relentless onslaught of tourism on its rich artistic heritage, and can be an example to the rest Asia for its skill in adapting traditional cultural practices to suit a modern context.

Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa Agama Hindu dan budaya Bali mampu menghadapi budaya globabal, namun demikian kekhawatiran sebagian masyarakat tentang dampak negatif globalisasi perlu diusahakan jalan untuk mengatasi dan mungkin mencegahnya.
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa Agama Hindu menjadi jiwa dan sumber nilai budaya Bali, untuk itu kiranya perlu diketengahkan bagaimana sinergi dan dinamika Agama Hindu dengan budaya Bali dan melakukan fungsinya sesuai dengan budaya Bali. Sinergi dan dinamika Agama Hindu di Bali telah melahirkan berbagai kearifan lokal. Agama Hindu dan tidak menghapuskan tradisi masyarakat dan budaya Bali sebelumnya, tetapi sebaliknya memberikan pencerahan kepada budaya lokal. Berbagai kearifan lokal telah terbukti mampu menjadikan Agama Hindu dan budaya Bali eksis sepanjang masa.

Pemahaman dan Implementasi Agama yang sempit, keliru, dan inklusif

 Dalam setiap penganut agama terdapat tiga kelompok umat yang memahami agama yang dianutnya itu dalam tiga sikap, yakni: (1) sangat toleran, humanis, dan inklusif. (2) sikap yang moderat, toleran, humanis, dan inklusif, dan (3) sikap yang keras (radikal, ortodoks), tidak toleran, tidak humanis, dan eksklusif. Munculnya sikap-sikap tersebut di atas, disebabkan oleh pemahaman terhadap agama yang dianutnya, yakni karena wawasan agama yang sempit, lokal, dan tradisional, berhadapan dengan sikap beragama yang rasional, global, dan universal. Lebih jauh dijelaskan beberapa pengertian dari istilah-istilah tersebut di atas.

Toleran berubah menjadi kata toleransi yang berarti menghargai perbedaan, perbedaan karena sumber ajaran, teologis, budaya, etika dan sebagainya. Humanis berasal dari kata human berarti manusia. Humanis berarti mengembangkan atau mengimplementasikan ajaran agama yang penuh dengan pemahaman terhadap kemanusiaan. Inklusif adalah sikap agama yang menekankan pengamalannya pada prilaku yang rendah hati, toleran, tidak arogan.  Moderat adalah sikap yang lembut, tidak lembek, dan tidak keras, sedang eksklusif adalah menekankan pengamalan agama pada bentuk luar, merasa paling benar, paling baik, dan tidak ada yang melebihi apa yang mereka anut, sedang ortodok, artinya adalah selalu berpegang kepada teks-teks atau kitab suci.
Radikalisme agama  menjadi pembicaraan yang tidak pernah berhenti selama satu dekade ini. Bentuk-bentuk radikalisme yang berujung pada anarkisme, kekerasan dan bahkan terorisme memberi stigma kepada agama-agama yang dipeluk oleh terorisme. Dalam hal ini Frans Magnis Suseno (Jawa Pos, 2002:1) menyatakan,  “Siapa pun perlu menyadari bahwa sebutan teroris memang tidak terkait dengan ajaran suatu agama, tetapi menyangkut prilaku keras oleh person atau kelompok. Karena itu, cap teroris hanya bisa terhapus dengan prilaku nyata yang penuh toleran”.


Menurut Ermaya (2004:1) radikalisme adalah paham atau aliran radikal dalam kehidupan politik. Radikal merupakan perubahan secara mendasar dan prinsip. Secara umum dan dalam ilmu politik, radikalisme berarti suatu konsep atau semangat yang berupaya mengadakan perubahan kehidupan politik secara menyeluruh, dan mendasar tanpa memperhitungkan adanya peraturan-peraturan /ketentuan-ketentuan konstitusional, politis, dan sosial yang sedang berlaku. Ada juga menyatakan bahwa radikalisme adalah suatu paham liberalisme  yang sangat maju (Far Advanced Liberalism) dan ada pula yang menginterpretasikan radikalisme sama dengan ekstremisme /fundamentalisme.


Pendeta Djaka Sutapa (2004:1) menyatakan bahwa radikalisme agama merupakan suatu gerakan dalam agama yang berupaya untuk merombak secara total suatu tatanan sosial /tatanan politis yang ada dengan menggemakan kekerasan. Terminologi “radikalisme” memang dapat saja beragam, tetapi secara essensial adanya pertentangan yang tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan  oleh kelompok agama tertentu di satu pihak dengan tatanan nilai yang berlaku saat itu. Adanya pertentangan yang tajam itu menyebabkan konsep radikalisme selalu dikaitkan dengan sikap dan tindakan yang radikal, yang kemudian dikonotasikan dengan kekerasan secara fisik. Istilah radikalisme berasal dari radix yang berarti akar, dan pengertian ini dekat dengan fundamental yang berarti dasar. Dengan demikian, radikalisme berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan melihat persoalan sampai ke akar-akarnya. Demikian juga halnya dengan fundamentalisme, berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan kembali ke azas atau dasar dari suatu ajaran.


Ada beberapa sebab yang memunculkan radikalisme dalam bidang agama, antara lain, (1) pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya, (2) ketidak adilan sosial, (3) kemiskinan, (4) dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk membenarkan tindakannya, dan (5) kesenjangan sosial atau irihati atas keberhasilan orang lain.


Prof. Dr. H. Afif Muhammad, MA (2004:25) menyatakan bahwa munculnya kelompok-kelompok radikal (dalam Islam) akibat perkembangan sosio-politik yang membuat termarginalisasi, dan selanjutnya mengalami kekecewaan, tetapi perkembangan sosial-politik tersebut bukan satu-satunya faktor. Di samping faktor tersebut, masih terdapat faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kelompok-kelompok radikal, misalnya kesenjangan ekonomi dan ketidak-mampuan sebagian anggota masyarakat untuk memahami perubahan yang demikian cepat terjadi.

Solusi Mencegah Sikap Arogan Umat Beragama

Kitab suci Veda merupakan sumber utama dan pertama dari seluruh ajaran agama Hindu. Dalam kitab suci Veda dapat dijumpai berbagai ajaran yang menyangkut pengembangan agama yang tidak arogan, di antaranya dengan mengembangkan agama Hindu yang toleran dan humanis. Di samping kitab suci Veda (termasuk kitab-kitab Upaniûad), susastra Hindu lainnya juga memberikan penjelasan tentang hal tersebut. Berikut dikutipkan mantra-mantra Veda yang menguraikan tentang hal tersebut.

1) Kebenaran bermanfaat pada kemanusiaan.

Tàn satyaujàá pra dahatu  agnir vaiúvànaro våûà.
yo no durasyàd dipsàc ca atho yo no aràtiyàt.
Atharvaveda  IV.  36.  1

‘Semoga Sang Hyang  Agni, yang memiliki kekuatan dan kebenaran yang bermanfaat pada kemanusiaan,  pelimpah kebahagiaan, membinasakan semua yang berniat merugikan atau membahayakan kami dan yang memperlihatkan sikap seperti musuh kepada kami’


2) Hendaknyalah semua manusia dan makhluk sehat (sejahtra).

Dvipad catuûpad asmàkam sarvaý
astu-anàturam.
Ågveda X. 97. 20

‘Hendaknyalah semua umat manusia dan binatang bebas dari penyakit’

3) Bangsa ideal menghargai kemanusiaan.

Viúvabhåta stha ràûþradà ràstraý me datta.
Yajurveda X. 4

‘Para dewa, Engkau adalah para pe¬lindung seluruh dunia.  Semoga Engkau menyediakan suatu bangsa ideal (idaman) semacam itu pada kami  yang bisa memberi makan seluruh dunia’


4) Seharusnya tak seorangpun menderita lapar dan haus

Eûa vàý dyàvà- påthivì upasthe mà kûudhat mà tåûat.
Atharvaveda  II. 29. 4

‘Langit dan bumi (sorga dan dunia), semoga kemanusiaan ini  yang di bawah pengawalan-Mu, ti¬dak menderita lapar dan haus’

5) Kami memerlukan orang yang dermawan

Lokaåtnum ìmahe.
Ågveda IX. 2. 8.

‘Kami membutuhkan kepribadian yang dermawan
(filantropis)’

6) Hendaknyalah seluruh dunia berbahagia dan sehat

Yathà naá sarvam id jagad ayakûmaý sumanà asat.
Yajurveda XVI. 4

‘Sang Hyang Rudra, lakukanlah be¬gitu sehingga seluruh  dunia bisa bebas dari penyakit, menjadi berbahagia’

Lokaý påóa, chidraý påóa.
Yajurveda XV.  59

‘Buatlah umat manusia berbahagia dan singkirkan kesukaran kesukaran mereka’

7) Kesejahtraan semua makhluk

Yathà úam asad dvipade catuûpade.
Yajurveda  XVI. 48

‘Buatlah semua manusia dan binatang berbahagia’

 8)Cintailah semuanya dan dicintai oleh semuanya

Priyaý mà kåóu deveûu priyaý ràjasu mà kåóu .
priyaý sarvasya paúyata uta úùdra utàrye.
Atharvaveda XIX. 62. 1

‘Ya, Tuhan Yang Maha Esa, semoga kami dicintai oleh para dewata dan para pemimpin bangsa. Semoga kami dikasihi oleh semuanya, siapa pun yang memper¬hatikan (memahami) kami, apakah seorang pengusaha  ataukah seorang pekerja’

9) Rasakan kesatuan dengan semua umat manusia

Yasmin sarvàói bhùtàni àtmaivà- bhùd vijànataá,
tatra ko mohaá kaá úoka ekatvam anupaúyataá.
Yajurveda XL. 7

‘Bilamana orang yang cerdas  menjalan¬kan persatuan dengan seluruh dunia yang bernyawa (hidup) dan merasakan kesatuan dengannya, lalu semua keterikatan dan malapetaka lenyap’

10) Semoga kami memiliki keserasian dengan semua

Samjñànam naá svebáih saýjñànam araóebhiá.
Atharvaveda VII.54.1

‘Semoga kami memiliki kerukunan de¬ngan orang orang yang dikenal dengan akrab dan orang orang asingpun’

11) Orang orang yang dermawan memperoleh popularitas.

Naràúaýsaý sudhåûþamam,
apaúyaý saprathastamam.
Ågveda I. 18. 9

(Orang yang dermawan dan orang yang mau berusaha (dengan giat) segera memperoleh popularitas).

Di samping butir-butir mantra kitab suci di atas, di dalam kitab-kitab Upaniûad (yang kemudian menjadi sumber utama sistem filsafat Vedànta) dijumpai pula pandangan bahwa semua makhluk berasal dari Tuhan Yang Maha Esa dan akhirnya kembali lagi kepada-Nya. Lebih jauh dijelaskan bahwa pada diri semua makhluk terdapat àtmà (roh) yang menghidupkannya,  dan àtmà merupakan percikkan sinar-Nya yang disebut Brahman dan Brahman sesungguhnya identik dengan Àtman sebagai sumber hidup alam semesta dan segala isinya. Di dalam kitab-kitab Upaniûad dikenal 5 ajaran yang melandasi pendangan tentang kemanusiaan yang disebut dengan Pañcamahàvàkya (the five great saying), yaitu Tat tvam asi (Thou art That), Ahaý Brahmàsmi (I am Brahman), Ayam àtmà Brahma (This Self is Brahman), Pràjñàm Brahma (Consciousness is Brahman), dan Sarvaýkhalvidaý Brahma (All indeed is Brahman)(Frawley, 1982:279).

 Dalam doa sehari-hari umat Hindu dijumpai sebuah mantra (Trisandhyà mantra ke-5) yang menyatakan: sarva pràói hitaòkaraá, (semoga) semua makhluk sejahtra dan sebuah úubhaúita (adigium) yang menyatakan: Vasudevàya kutumbhakam, semua makhluk bersaudara. Di Bali hingga dewasa ini umat manusia bersaudara dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan. Dalam sebuah doa mohon keselamatan dan kemakmuran bagi tumbuh-tumbuhan, yang dilaksanakan pada hari raya Tumpek Bubuh (25 hari sebelum Hari Raya Galungan) dinyatakan: kaki-kaki, nini-nini malih selai lemeng mangkin Galungan, elingang mabuah nged-nged (kakek-kakek dan nenek-nenek, dua puluh lima hari lagi Hari Raya Galungan, tolong berbuah yang lebat-lebat), menunjukkan pohon-pohon yang menghasilkan buah-buahan dipanggil nenek-nenek dan kakek-kakek, menunjukkan bahwa manusia mempunyai pertalian saudara dengan pohon-pohon kayu demikian pula dengan binatang, seperti halnya sapi yang dipandang sebagai ibu, yang memberikan susu dan membantu melaksanan pekerjaan di sawah.

Dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan saja kita masih bersaudara, mengapa dengan sesama manusia kita saling bermusuhan? Pandangan tentang kesatuan semua makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa, atau semua makhluk datang dan pada akhirnya akan menyatu dengan-Nya di dalam sistem filsafat Vedànta disebut dengan Advaita atau monistik (monism). Pandangan ini menjadi dasar ajaran cinta kasih yang sejati yang disebut Parama Prema.
Pandangan di atas lebih tegas dinyatakan oleh Mahatma Gandhi (dalam Prabhu, 1987: 424) sebagai berikut. My goal is friendship to the world and I can combine the greatest love with the greatest opposition to the wrong. My ethics not only permit me to claim but requiere me to own kinship with not mereley the ape but the horse and the sheep, the lion and the leopard, the snake and the scorpion. Not so need these konsfolk regard them selves. 

Pada kesempatan lainnya, pesan Mahatma Gandhi tentang kemanusiaan adalah: “Cintailah sesama. Carilah apa yang menyatukan, bukan apa yang memecah belah kalian, satu sama yang lain”(McCahill, dalam Ellsberg, 2004: 220).

Di lain pihak, Svami Vivekananda (Richards, 1996: 84) sebagai seorang humanis sejati menyatakan:
‘Lihatlah ke dalam diri semua orang, baik pria maupun wanita, dan semuanya sebagai Tuhan. Engkau tidak bisa menolong siapapun, engkau hanya bisa melayani: layanilah anak-anak Tuhan, layanilah Tuhan itu sendiri. Jika Tuhan bisa memberikan sebuah anugerah hingga engkau bisa menolong salah-satu dari anak-anaknya, maka engkau terberkati; jangan terlalu memikirkan dirimu sendiri. Terberkahilah dirimu karena memiliki semua ini saat dimana yang lainnya tidak memilikinya. Lakukanlah semua itu hanya sebagai pemujaan. Saya harus melihat Tuhan dalam diri orang miskin dan demi pembebasan sayalah saya pergi dan menyembah mereka. Orang yang malang dan menderita adalah untuk pembebasan kita, sehingga kita bisa melayani Tuhan, yang datang dalam wujud penyakit, dalam bentuk kegilaan, penyakit hati, dan pendosa! Saya berkata jujur; dan saya akan mengulangi apa yang telah saya katakan adalah sebuah kesempatan besar dalam kehidupan kita dimana kita diijinkan untuk melayani Tuhan dalam semua wujud ini’.
Di samping mengembangkan dan mengimplementasikan sikap yang toleran dan humanis, ajaran agamaHindu yang patut dikembangkan adalah ajaran yang menghargai perbedaan dan bersedia mengembangkan ajaran yang sifatnya dialogis, yang merupakan landasan atau dasar-dasar kerukunan hidup beragama yang sejati, seperti diamanatkan dalam mantra-mantra kitab suci Veda berikut.

1)Menghargai pluralisme (perbedaan) agama/kepercayaan dan budaya serta mewujudkan kemakmuran bersama.

Janaý bibhrati bahudhà vivàcasaý
nànàdharmanaý påthivì yathaikasam,
sahasraý dhàrà dravióasya me duhàý
dhraveva dhenuranapasphuranti.
Atharvaveda XII.1.45.

(Berikanlah penghargaan kepada bangsamu yang menggunakan berbagai bahasa daerah, yang menganut berbagai kepercayaan (agama)  yang  berbeda.   Hargailah mereka yang tinggal bersama di bumi pertiwi ini. Bumi yang memberi keseimbangan bagaikan sapi yang memberi susunya kepada umat manusia. Demikian ibu pertiwi memberikan kebahagiaan yang melimpah kepada umat-Nya).

2)Mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk mencapai tujuan bersama (kedamaian, kemakmuran dan kebahagiaan)

Saý vo manàýsi saý vratà sam àkùtìr namàýsi,
amì ye vivratà sthana tàn vaá saý namayàmasi.
Atharvaveda III. 8.5.

(Aku satukan pikiran, dan langkahmu untuk mewujudkan  kerukunan   di  antara kamu. Aku  bimbing  mereka  yang  berbuat jahat menuju jalan yang benar).

Yena devà na viyanti no ca vidviûate mithaá.
tat kåómo brahma vo gåhe saýjñàna puruòebhyaá.
Atharvaveda III.30.4

(Wahai umat manusia! Bersatulah, dan rukunlah kamu  seperti  menyatunya  para  dewata. Aku telah  anugrahkan  hal  yang  sama  kepadamu, oleh karena itu ciptakanlah persatuan di antara kamu).

3)Mewujudkan kehidupan yang harmonis serta dialogis.
Saý gacchadhvaý saý vadadhvaý
saý vo manaýsi jànatàm,
devà bhàgam yathà pùrve saýjànànà upàsate.
Ågveda X.191.2.

(Wahai umat manusia! Hiduplah dalam harmoni dan kerukunan. Hendaklah bersatu, dan bekerja sama.   Berbicaralah  dengan  satu  bahasa, dan ambilah keputusan dengan satu pikiran. Seperti orang-orang suci di masa lalu yang telah melaksanakan  kewajibannya,   hendaklah   kamu  tidak goyah dalam  melaksanakan    kewajibanmu)

4)Mewujudkan kehidupan yang demokratis dengan bermusyawarah dan menumbuhkan saling pengertian.

Samàno mantraá samitiá samàni
samànam manaá saha cittam eûàm,
samanam mantram abhi mantarey vah,
samanena vo havisa juhomi.
Ågveda X.191.3.

(Wahai umat manusia! Pikirkanlah bersama. Bermusyawarahlah  bersama.  Satukanlah  hati, dan pikiranmu dengan yang lain.Aku anugrahkan pikiran  yang  sama, dan  fasilitas  yang sama pula untuk kerukunan hidupmu)

Samànì va àkutiá samànà hådayàni vaá,
samànam astu vo mano yathà vaá susahàsati.
Rgveda X.191.4.

(Wahai  umat   manusia!   Milikilah  perhatian yang sama. Tumbuhkan saling pengertian di antara kamu. Dengan demikian engkau dapat  mewujudkan  kerukunan dan kesatuan)

5)Mengembangkan hati yang tulus ikhlas dan persahabatan yang sejati.
Sahådayaý saý manasyam avidveûaý kåóomi vaá,
anyo anyam abhi haryata vatsaý jàtam ivagh-nyà.
Atharvaveda III.30.1.

(Wahai umat manusia, Aku memberimu sifat ketulus ikhlasan, mentalitas yang sama, persahabatan tanpa kebencian, seperti halnya induk sapi mencintai anaknya yang baru lahir, begitu seharusnya kamu mencintai sesamamu).

6)Mengembangkan keharmonisan yang sejati, baik kepada orang yang dikenal dan bahkan dengan orang asing sekalipun.

Saýjñànaý naá svebhiá saýjñànaý araóebhiá,
Saýjñànaý aúvinà yuvam ihàsmàsu ni yacchatam.
Atharvaveda VII.52.1.

(Hendaknya harmonis dengan penuh keintiman di antara kamu, demikian pula dengan orang-orang yang dikenal maupun asing. Semogalah dewa Asvina menganugrahkan rahmat-Nya untuk keharmonisan antar sesama).

Dalam usaha meningkatkan kerukunan intra, antar, dan antara umat beragama yang dilandasi dengan teologi yang humanis, pluralis dan dialogis, dikutipkan pernyataan Svami Vivekananda pada penutupan sidang  Parlemen Agama-Agama sedunia, tepatnya tanggal 27 September 1893 di Chicago, Amerika Serikat,  karena pernyataan  yang disampaikan oleh pemikir Hindu yang sangat terkenal pada akhir abad yang lalu itu (sudah 108 tahun lewat) senantiasa relevan dengan situasi saat ini. Pidato yang mengemparkan dunia, dan memperoleh penghargaan yang tinggi seperti ditulis oleh surat kabar Amerika sebagai berikut: “An orator by divine right and undoubted greatest in the Parliament of Religion” (Walker, 1983: 580). Kutipan yang amat berharga itu diulas pula oleh Jai Singh Yadav (1993), dan diungkapkan kembali oleh I Gusti Ngurah Bagus (1993), sebagai berikut: “Telah banyak dibicarakan tentang dasar-dasar umum kerukunan agama. Kini saya  tidak  sekedar  mempertaruhkan  teori  saya. Namun, jika ada orang yang berharap bahwa kerukunan ini akan tercapai melalui kemenangan dari suatu ajaran agama terhadap penghancuran agama lainnya, maka kepadanya saya akan katakan: “Saudara harapan anda itu hanyalah impian yang mustahil” (Mumukshananda, 1992:24).
Di samping mantra tersebut di atas, dalam rangka mewujudkan kerukunan hidup beragama dalam rangka integrasi nasional, kiranya perlu dipahami dasar-dasar teologis kehidupan berbangsa dan bernegara seperti di amanatkan dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar